Kegagalan Komunikasi Pemerintah: Rakyat Butuh Dialog, Bukan Represi

Dalam dinamika politik dan sosial yang terus berkembang, komunikasi antara pemerintah dan rakyat seharusnya menjadi pilar utama dalam membangun kepercayaan publik. daftar slot 10k Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kegagalan komunikasi pemerintah kerap menjadi akar dari ketegangan sosial dan meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

Alih-alih membangun ruang dialog yang terbuka dan empatik, pemerintah justru kerap menggunakan pendekatan elitis yang represif. Ketika kritik disampaikan, respons yang muncul seringkali bersifat defensif, bahkan disertai ancaman hukum. Hal ini menciptakan jurang antara penguasa dan rakyat, yang justru memperparah konflik horizontal maupun vertikal.

Komunikasi yang Tertutup dan Tidak Asertif

Banyak kebijakan publik yang diumumkan tanpa melalui proses konsultasi atau dialog dengan masyarakat. Contoh paling nyata adalah kebijakan kontroversial yang langsung diumumkan tanpa memperhatikan aspirasi publik. Ketika terjadi gelombang penolakan, alih-alih mendengar dan menanggapi dengan kepala dingin, pemerintah justru merespons dengan narasi yang menyudutkan rakyat sebagai “tidak paham” atau “termakan hoaks”.

Model komunikasi seperti ini menunjukkan kurangnya empati dari pemegang kekuasaan. Pemerintah tidak cukup membuka ruang partisipatif yang sejati, padahal demokrasi menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh elemen bangsa. Komunikasi satu arah yang sarat instruksi dan minim dialog bukanlah komunikasi yang sehat dalam tata kelola negara demokratis.

Rakyat Bukan Objek, Tapi Subjek

Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah subjek, bukan objek kekuasaan. Oleh karena itu, mendengarkan aspirasi mereka bukan sekadar bentuk belas kasih, melainkan kewajiban konstitusional. Sayangnya, sebagian besar keputusan politik diambil tanpa pelibatan masyarakat. Proses pembuatan kebijakan lebih sering dikendalikan oleh elit politik dan kepentingan oligarki.

Ketika rakyat mencoba menyuarakan pendapat melalui demonstrasi, kritik di media sosial, atau forum publik, seringkali mereka dibungkam dengan dalih keamanan atau stabilitas nasional. Padahal, suara rakyat adalah bentuk ekspresi demokrasi yang sah. Penggunaan alat negara untuk membungkam opini publik adalah bentuk represi yang membahayakan demokrasi.

Empati sebagai Pilar Kepemimpinan

Kepemimpinan yang baik tidak hanya diukur dari capaian pembangunan atau pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari sejauh mana pemimpin mampu membangun kedekatan emosional dengan rakyatnya. Empati menjadi fondasi penting dalam setiap proses komunikasi yang dilakukan pemerintah. Sayangnya, gaya komunikasi elitis yang kaku dan penuh jargon teknokratik seringkali gagal menjembatani perasaan dan kebutuhan masyarakat.

Rakyat tidak menuntut hal yang muluk-muluk. Mereka hanya ingin didengar, dimengerti, dan dihormati sebagai bagian dari bangsa ini. Ketika komunikasi dibangun atas dasar rasa hormat dan empati, maka kepercayaan pun akan tumbuh. Sebaliknya, jika yang muncul justru ketakutan karena ancaman, maka yang lahir adalah resistensi sosial yang meluas.

Saatnya Mengubah Pola Komunikasi

Pemerintah perlu menyadari bahwa kekuasaan tanpa legitimasi rakyat adalah kekuasaan yang rapuh. Legitimasi itu hanya bisa dibangun dengan komunikasi yang terbuka, jujur, dan empatik. Sudah saatnya pemerintah menghentikan pola komunikasi yang menindas dan mulai membangun ruang dialog yang sehat dengan masyarakat.

Dialog bukanlah tanda kelemahan, tapi justru simbol kekuatan moral sebuah pemerintahan. Rakyat tidak membutuhkan penguasa yang merasa paling tahu, tapi pemimpin yang mau mendengar dan memahami. Komunikasi yang gagal hanya akan menciptakan kegagalan yang lebih besar dalam pembangunan bangsa.

Leave a Comment