UU Antideforestasi Uni Eropa Dipertanyakan: Indonesia Minta Penundaan hingga 2028

Uni Eropa mengesahkan regulasi baru yang dikenal sebagai EU Deforestation Regulation (rans4d alternatif) pada tahun 2023. Aturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang dipasarkan di wilayah Uni Eropa tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi setelah tanggal 31 Desember 2020. Komoditas yang terdampak termasuk minyak sawit, kakao, kopi, karet, kayu, dan kedelai—banyak di antaranya merupakan ekspor utama Indonesia.

Salah satu ketentuan utama dari EUDR adalah kewajiban menyertakan data geolokasi pada produk yang diekspor. Informasi ini harus menunjukkan dengan tepat lokasi asal bahan baku, serta memastikan bahwa lahan tersebut tidak terlibat dalam praktik deforestasi. Meskipun kebijakan ini bertujuan baik dari segi lingkungan, banyak pihak mempertanyakan implementasinya, terutama dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia.

Indonesia Minta Penundaan Hingga 2028

Menyadari dampak besar dari kebijakan tersebut, terutama terhadap petani kecil, Indonesia secara resmi meminta agar Uni Eropa menunda implementasi penuh EUDR hingga tahun 2028. Permintaan ini bukan tanpa alasan. Hingga saat ini, meskipun Uni Eropa telah menunda implementasi hingga akhir 2025, Pemerintah Indonesia menilai bahwa masa transisi tersebut belum cukup untuk menyiapkan infrastruktur pendukung, edukasi, dan sistem pelacakan bagi petani kecil.

Jutaan petani kecil di Indonesia berperan penting dalam rantai pasok komoditas ekspor seperti sawit dan kopi. Namun, mereka umumnya tidak memiliki akses terhadap teknologi digital atau sistem informasi geospasial yang dibutuhkan untuk mematuhi EUDR. Bahkan banyak di antara mereka yang belum memiliki sertifikasi atau dokumen legal formal atas lahan yang digarap, sehingga sulit memenuhi persyaratan hukum yang diberlakukan Uni Eropa.

Dampak Langsung bagi Petani dan Ekonomi

Jika EUDR diberlakukan sesuai jadwal saat ini, banyak petani kecil berpotensi terpinggirkan dari rantai pasok global. Perusahaan besar mungkin dapat mematuhi regulasi ini karena memiliki sumber daya dan teknologi yang memadai. Sebaliknya, petani kecil yang menjadi tulang punggung produksi akan kesulitan mempertahankan akses ke pasar Eropa.

Hal ini tentu berdampak lebih luas terhadap ekonomi nasional, terutama daerah-daerah penghasil komoditas ekspor. Sektor-sektor yang selama ini mengandalkan ekspor ke Uni Eropa bisa mengalami perlambatan, dan berujung pada penurunan kesejahteraan masyarakat desa yang menggantungkan hidup pada pertanian dan perkebunan.

Isu Keadilan dan Tantangan Implementasi

UU Antideforestasi Uni Eropa dinilai mencerminkan pendekatan sepihak yang tidak memperhitungkan kondisi sosial ekonomi negara-negara berkembang. Aturan ini dianggap sebagai bentuk hambatan non-tarif yang dapat menghambat perdagangan bebas. Padahal, Indonesia telah menunjukkan komitmen serius dalam menurunkan angka deforestasi melalui berbagai kebijakan nasional, termasuk moratorium hutan dan pembangunan sistem pemantauan lahan berbasis teknologi satelit.

Selain itu, EUDR tidak memberikan ruang yang cukup untuk mekanisme dukungan teknis atau pendanaan bagi petani kecil di negara produsen. Tanpa kerja sama yang setara dan dukungan konkret dari Uni Eropa, kebijakan ini bisa menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam perdagangan global.

Diperlukan Dialog dan Transisi yang Adil

Indonesia menegaskan bahwa pihaknya mendukung upaya perlindungan lingkungan dan pengurangan deforestasi global. Namun, implementasi kebijakan seperti EUDR harus mempertimbangkan prinsip keadilan, inklusivitas, dan kesiapan lokal. Permintaan penundaan hingga 2028 bukan untuk menunda tanggung jawab, melainkan agar ada waktu transisi yang cukup bagi petani kecil agar tidak tertinggal dalam proses menuju perdagangan yang berkelanjutan.

Diperlukan dialog yang terbuka antara negara produsen dan konsumen, serta kolaborasi internasional yang konkret untuk mendampingi petani kecil melalui bantuan teknis, pelatihan, dan pendanaan. Tanpa itu, tujuan mulia EUDR bisa berbalik menjadi tekanan sosial-ekonomi baru bagi jutaan orang yang hidup dari komoditas pertanian.

Leave a Comment