Anggota Komisi II DPR RI, Ujang Bey, menekankan pentingnya kolaborasi antara Komisi Pemilihan Umum KPU dan Bawaslu dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Hal ini disampaikan untuk mencegah hasil pemilu kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang berpotensi memicu sengketa berkepanjangan dan pemborosan anggaran.
Ujang meminta KPU lebih terbuka menerima masukan dari Bawaslu, terutama terkait pencegahan pelanggaran prosedural. “Jika ada peringatan dari Bawaslu, KPU harus merespons dengan serius. Jangan sampai ego sektoral membuat koordinasi buruk, yang ujung-ujungnya berakhir di MK,” tegasnya di Jakarta, Selasa.
Ia mengingatkan sejumlah kasus sengketa pemilu di MK yang terjadi akibat kurangnya sinergi antara kedua lembaga. Menurutnya, PSU seharusnya menjadi solusi akhir, bukan malah memunculkan masalah baru karena kesalahan teknis atau administratif.
Pentingnya Persiapan Logistik dan Prosedur yang Matang
Selain koordinasi, Ujang juga menyoroti pentingnya kesiapan logistik PSU. Distribusi perlengkapan pemilu, seperti surat suara dan kotak pemungutan, harus direncanakan dengan cermat untuk menghindari kendala di lapangan. Beberapa kasus sengketa pemilu sebelumnya ternyata bersumber dari masalah prosedural sederhana, seperti keterlambatan distribusi atau ketidaksesuaian dokumen.
“KPU harus ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan teknis. PSU memakan biaya besar, baik dari sisi anggaran maupun waktu. Jika hasilnya kembali digugat, artinya ada pemborosan sumber daya yang seharusnya bisa dihindari,” ujarnya.
Mencegah Sengketa Pemilu yang Berulang
Sengketa pemilu yang berujung pada PSU bukan hanya menghabiskan dana negara, tetapi juga berpotensi mengurangi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Masyarakat bisa lelah melihat pemilu yang seolah tidak pernah mencapai kepastian akibat gugatan yang berulang.
Oleh karena itu, Ujang mendorong KPU dan Bawaslu untuk memperkuat komunikasi sejak tahap persiapan. “Dengan saling mendengarkan, risiko kesalahan bisa diminimalisir. Bawaslu memiliki peran pengawasan yang kritis, sementara KPU harus fleksibel dalam menyesuaikan prosedur jika ditemukan celah pelanggaran,” jelas rans4d link alternatif.
Dampak Ekonomi dan Politik dari PSU yang Tidak Efektif
PSU yang terus berulang tidak hanya berdampak pada aspek hukum, tetapi juga ekonomi dan stabilitas politik. Anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program pembangunan justru terpakai untuk biaya penyelenggaraan pemilu tambahan.
Di sisi lain, ketidakpastian hasil pemilu dapat memicu ketegangan politik di tingkat lokal. Jika masyarakat merasa prosesnya tidak adil atau tidak transparan, hal ini bisa memicu keresahan sosial.
Solusi Jangka Panjang untuk Pemilu yang Lebih Baik
Agar PSU tidak menjadi rutinitas yang melelahkan, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilu saat ini. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Peningkatan Kapasitas Petugas KPU dan Bawaslu – Pelatihan intensif untuk memastikan semua pihak memahami prosedur dengan benar.
- Penguatan Sistem Pengawasan – Teknologi digital bisa dimanfaatkan untuk memantau distribusi logistik dan proses penghitungan suara.
- Sosialisasi Prosedur Pemilu – Edukasi kepada masyarakat dan saksi partai untuk mengurangi kesalahan administratif.
Permintaan Ujang Bey agar KPU dan Bawaslu bekerja sama lebih erat patut mendapatkan perhatian serius. PSU seharusnya menjadi mekanisme terakhir untuk memperbaiki kesalahan pemilu, bukan malah menciptakan masalah baru. Dengan koordinasi yang baik, kesiapan logistik yang matang, dan transparansi proses, diharapkan hasil pemilu ke depan bisa lebih akuntabel dan minim sengketa.
Jika langkah-langkah pencegahan ini dijalankan dengan konsisten, bukan tidak mungkin Indonesia bisa mengurangi frekuensi PSU dan gugatan ke MK, sehingga pemilu benar-benar menjadi sarana demokrasi yang efektif dan dipercaya publik.